Jaringan Persaudaraan - Milan


Apa yang ku pikirkan ketika pertama kali memutuskan untuk mengeksplorasi Eropa, benua yang terkenal dengan biaya hidup yang sangat mahal? Bahkan penduduknya sendiri mengakui fakta itu! Tapi aku tetap nekad. Tidak ada pilihan lain selain mengunjungi Eropa. Lalu apa yang aku lakukan untuk menutupi segala kekurangan finasial yang ada? Jawabannya adalah jaringan persaudaraan.

Perjalanan dimulai di Milan- kota industri yang super mahal. Sulit rasanya jika aku harus menginap di hostel, apalagi hotel. Awalnya aku berusaha untuk mencari tumpangan melalui jaringan hospitality couchsurfing, tapi setelah memikir ulang bahwa hari berkunjung saya adalah hari yang sangat penting bagi kaum nasrani, natal, akhirnya akupun menyerah.

Pilihan saya selanjutnya adalah menghubungi PPI Italia, menanyakan kemungkinan adanya mahasiswa Indonesia di Milan. Dengan menyantumkan PPI tempat saya bernaung sebagai referensi, saya berharap pesan saya bisa direspon. Benar saja, saya langsung diberi kontak teman Indonesia yang ada di Milan. Tapi beliau juga sedang memanfaatkannlibur panjang akhir tahun ini untuk mengunjungi kota di Eropa lainnya. Akhirnya saya cuma diberi kontak teman lain yang bisa membawa saja jalan-jalan. Saya pun tidak mau meminta lebih, karena takut merepotkan.

Mahasiswa Indonesia yang baru saya kenal itupun memberi informasi lebih tentang penginapan, katanya ada salah satu keluarga Indonesia yang memiliki bisnis Airbnb. Saya belum berniat untuk mengontak, karena saya masih berharap bisa menemukan hostel. Karena pengalaman saya tinggal dihostel terakhir kali sangat memuaskan. Bisa bertemu dengan orang yang sangat antusias untuk berbicara tentang dunia, tentang kehidupan. Mungkin kali ini aku juga bisa seberuntung itu, kataku dalam hati.

Setelah mengecek semua kemungkinan tempat tinggal, akhirnya aku menemukan hostel dengan harga 10€ permalam tapi belum termasuk city tax (2€ per malam), saya sudah sedikit setuju untuk tinggal disana tapi saya masih membuka kemungkinan untuk tinggal di tempat lain yang lebih ramah saku.

Saat menunggu di gate pesawat saya tiba-tiba berubah pikiran. Sudahlah saya tinggal di rumah mba Indonesia saja, seruku. Saya langsung minta kontak mbanya dan dengan to the point mengungkapkan keinginan saya untuk menginap. Mba Eci yang sangat baik hati pun langsung merespon dengan segera bahwa pintu rumahnya sangat terbuka.

Setelah tinggal dengan beliau dan keluarga selama dua hari, saya baru sadar bahwa alasannya menerima saya, padahal tidak kenal sama sekali, karena saya punya referensi. Ia waktu mengirim pesan saya memang menyantumkan nama teman yang memberikan kontak beliau.

Di Milan saya di jemput oleh mba Eci dan suaminya dari stasiun shuttle dimana saya di turunkan. Mereka langsung membawa saya ke rumah dan mempersilahkan saya untuk beristirahat. Rumah mereka sangat luas. Terutama Ruang tamunya. Saat saya ekspresikan apa yang saya pikirkan tentang ruangan itu, beliau langsung menjelaskan bahwa alasannya karena beliau ingin menjamu orang yang membutuhkan seperti saya ini. Padahal, katanya, mereja berdua bisa saj menyewa studio kecil - karena memang mereka cuma hidup berdua - tapi dengan niat yang tadi akhirnya mereka memilih untuk tinggal di apartemen yang saat ini mereka tempati.

Diwaktu saya beristirahat beliau sedang menyiapkan makanan. Saya ingin membantu, tapi mbanya menyuruh saya untuk beristirahat saja. Tak lama ada 4 mahasiswi Indonesia yang berkuliah di Milan datang, dan kami pun langsung makan dengan menu yang sangat syurgawi, ikan asin dan sayur campur. Sudah lama tidak merasakan makanan selezat itu, saya langsung makan dengan lahap. Apakah saya makan terlalu banyak, entahlah. Yang jelas saya sangat bahagia telah berada disana.

Selama saya menginap 2 malam, saya selalu diperlakukan dengan sangat baik. Saya langsung berfikir, disetiap negara ketika saya bertemu dengannorang Indonesia saya selalu menemukan orang Indonesia dengan versi yang super baik, super pintar, super berprestasi, super ramah, super kekeluargaan. Lalu kenapa Indonesia dalam konteks sehari-hari masih begitu?

Tanggal 25 pagi, saya pamit untuk melanjutkan perjalanan ke Lyon. Saat pamit saya menyiapkan uang 20€ dan akan meberikannya ke mba Eci. Tapi mab Eci langsung menolak, katanya tidak usah. Saya malah diberi bingkisan berupa kecap ABC dan bumbu nasi goreng.

Sebelum menginap saya memang bertanya tentang harga, karena namanya juga Airbnb tentu harus ada pertanyaan tentang harga. Tapi ternayata mba Eci dengan baik hati malah melupakan semua itu dan mebiarkan saya untuk tinggal dengan percuma.

Saya pun langsung memeluk beiau karena saya sangat berterimakasih atas apa yang beliau telah berikan kepada saya. Kami berdua pun hanyut dalam suasana emosi di balutan angin musim dingin. Ku lihat matanya merah berkaca-kaca dan ku tau bahwa beliau ada orang yang paling tulus yang pernah aku temui


Eindhoven 01,01,2016

0 comments: