Entah berapa lama proyek menulis review My Name is Red ini terbengkalai. Sampai-sampai saya sudah lupa detail ceritanya. Dari pada tulisan yang setengah jalan ini mojok gak jelas di dalam komputer, mending masukin ke blog aja. Mungkin suatu hari saya akan baca ulang buku ini lagi, dengan begitu saya akan bisa melanjutkan proyek ini.




Dalam me-review sebuah buku alangkah baiknya kita juga menyertakan setiap detail keunikan yang ada didalamnya. Dalam buku "My Name is Red" ini misalnya, ada banyak sekali yang keunikan yang akan sangat disayangkan sekali  jika di abaikan begitu saja.

  1.  Gaya Bernarasi
Tidak seperti buku pada umumnya, Orhan Pamuk memilih gaya narasi yang unik, bahkan sangat unik. Bila novel pada umumnya lebih memilih satu narator untuk menceritakan semua kejadian, tidak dengan Orhan Pamuk, dia dengan pintarnya memberikan hak kepada semua karakter yang ada dalam novel ini untuk menjadi narator. Jadi, hal yang harus di persiapkan oleh pembaca ketika memutuskan untuk membaca buku ini adalah untuk siap dipusingkan secara mental dan intelektual (dalam konotasi positif) dengan keunikan gaya narasi ini.

Jika dalam proses menulis seorang penulis harus membuat pilihan tentang bagaimanakah bentuk narasi yang akan di aplikasikan dalam ceitanya maka hal yang terjadi dalam buku ini adalah: 1. Orhan Pamuk telah memilih jenis narasi  'orang pertama' ketimbang 'orang ketiga serba tahu'. Meskipun untuk beberapa karakter seperti "Esther," terkadang diceritakan dalam bentuk 'orang ketiga serba tahu,' hal itu karena mungkin Orhan Pamuk ingin memberikan sedikit clue kepada pembaca bahwa karakter ini bukanlah karakter yang bisa di percaya.

  1. Referensi ke Literatur masa lalu
Novel ini bercerita tentang banyak hal, jelas sekali. Salah satu cerita yang mewarnai novel ini adalah tentang dunia lukisan. Bukan kebetulan. Orhap Pamuk memilih tema ini karena memang dia juga adalah seorang pelukis.

Dalam sebuah wawancara iya pernah mengugkapkan bahwa "saat melukis saya merasa seolah orang lain yang melakukannya," dalam artian kegiatan melukis mengalir begitu saja. Sedangkan "menulis" bagi Orhan Pamuk adalah benar-benar sebuah kegiatan yang memerlukan inteligensi.

Hal ini sangat terasa ketika membaca buku ini. Dalam artian Orhan Pamuk benar-benar mengerahkan segala usaha-nya untuk menjadikan novel ini menjadi novel jenius. Kejeniusan buku ini bisa dirasakan dari cara Orhan Pamuk memilih gaya bernarasi yang sangat anti-judgmental; yaitu dengan cara memberikan kesempatan kepada seluruh karakter untuk memberikan pendapatnya masing-masing atas setiap kejadian. Dengan begitu karakter bisa menjastifikasi setiap kesalahan yang mereka lakukan. Akhirnya, mau tak mau pembaca juga ikut andil dalam mengadili siapakah diantara karakter (narator) yang patut di percaya dan siapakah di antara mereka yang memiliki tendensi untuk berkata bohong.

Perjalanan cerita ini dari dari bab pertama hingga akhir membuat ku, sebagai pembaca, merasa seolah sedang mendengarkan para aktor-aktor sebuah film bercerita tentang film yang mereka perankan. Bab pertama, adalah jawaban aktor A atas pertanyaan yang dilontarkan moderator. Dan begitu terus hingga buku selesai. Layaknya sebuah wawancara, ada yang menyanggah pernyataan yang di ucapkan dan ada juga yang sebaliknya, setuju dengan apa yang di lontarkan pembicara lainnya.

Alur cerita ini mengingatkanku akan salah satu karya sastra terbesar dalam sejarah sastra Inggris, Canterbury Tales - yang di tulis oleh bapak puisi Inggris, Geoffrey Chaucer. Dalam puisi itu, narrator-nya juga berputar dari satu karakter ke karakter lainnya. Sayang sekali, Chaucer meninggal sebelum ia sempat menyelesaikan puisi 'Canterbury Tale' ini. Menurut rencana setiap karakter akan menceritakan 1 puisi ketika pergi dan 1 ketika kembali.

Salah satu referensi masa lalu yang paling kental dalam 'My Name is Red' berasal dari literatur klasik Persia. Dan yang paling sering di sebut didalam buku ini adalah hikayah 'Husrev dan Shirin' dan 'Laila dan Majnun' karya Nizami - pujangga Persia yang sangat masyhur. Kedua hikayah ini aslinya adalah sebuah epic romantis, namun dalam novel 'My Name is Red', kedua hikayah ini dibahas dalam bentuk gambar miniatur yang telah diilustrasikan oleh para miniaturis.

Salah satu karakter yang tergila-gila dengan lukisan dan cerita 'Husrev dan Shirin' adalah Black. Kopian ilustrasi ini yang dia buat di masa remajanya lah yang membuat ia menjaga cintanya hanya untuk Shekure. Bahkan ketika Shekure telah menikah sekalipun. Yang menyatukan kedua mereka, pada akhirnya, bukanlah cinta namun transaksi yang di ikrarkan oleh Shekure. 

  1. Cerita dengan beragam lapisan
Layaknya sebuah karya besar, novel ini pun dihiasi dengan beragam cerita yang sangat kompleks:
1.Cinta Bertepuk Sebelah Tangan
Black adalah karakter yang sangat melankolis. Melankoli menggrogoti jiwanya karena ia itidak bisa bersatu dengan wanita yang ia cintai, Shekure - yang juga merupakan salah satu saudara dekatnya. Sejak kecil mereka berdua sudah berteman. Adalah status Black sebagai murid lukis ayah Shekure yang membuat mereka sedekat itu.

Namun ketika suatu hari Black mengungkapkan cintanya dan berharap untuk meminang Shekure, Ayah Shekure menolak mentah-mentah. Bukan tanpa alasan. Ayah Shekure melakukan hal itu demi masa depan Black. Ayah Shekure, yang juga adalah paman-nya, memiliki harapan besar agar Black bisa menjadi pegawai kerajaan. Kalau Black dan Shekure menikah dalam usia yang sangat muda, kemungkinan besar bayangan karir yang sangat cemerlang itu akan hangus begitu saja.

Tahun demi tahun berlalu, kini Black kembali lagi ke Istanbul dari tugasnya dinegara lain (Black akhirnya berhasil bekerja menjadi pegawai kerajaan.) Sekembalinya ke Istanbul, dia di ajak oleh pamannya, Ayah Shekure, untuk menyelesaikan suatu projek yang di tugaskan oleh Sultan. (Topik ini akan dijelaskan di poin kedua)

Kebetulan Shekure juga tinggal bersama ayahnya, dikarenakan suaminya yang tak pulang-pulang dari medan perang. (Dengan berlalunya tahun, salah satu hal yang terjadi adalah pernikahan Shekure dengan seorang panglima perang). Shekure pindah ke rumah ayahnya dikarenakan adik iparnya yang selalu menggodanya. Ia sering memaksa Shekure untuk berzina, namun Shekure menolaknya.

Status Shekure yang tidak jelas ini lah kemudian menjadi sebuah harapan kecil bagi Black. Namun, ada hal yang menghalangi yaitu mashaf yang di anut oleh Shekure, Hanafi, yang sangat melarang keras perceraian. Hal lain yang menghalangi mereka untuk bersatu adalah ketidak jelasan perasaan yang di miliki Shekure. Dalam satu sisi ia seolah mencintai Black, namun disisi lain ia juga menaruh hati pada adik iparnya, Hasan.
Bagaimanakah kelanjutannya?????? Sebaiknya jangan di kupas tuntas ya. Biar yang belum baca saja yang cari tau.

2.Perbedaan Pendapat tentang 'gaya melukis'.
Bahasan lain yang menghiasi novel ini adalah perdebatan tentang lukisan. Ayah Shekure yang saat itu sedang dalam tahap penyelesaian proyek lukisan yang di danai oleh Sultan menghadapi sebuah permasalahan. Permasalahan itu muncul karena keputusannya menggunakan gaya lukisan Barat, Venetian Style.  Dalam melakukan proyek ini ditentang oleh banyak kalangan. Pertentangan ini sebenarnya belum benar-benar terjadi. Masih dalam bentuk desas desus,








Courtesy of depositephotos.com
Sebagai pemegang paspor Indonesia, adalah sebuah hal yang bukan tidak mungkin untuk dihadapkan pada situasi dimana kita harus mendaftar visa berkali-kali. Bahkan ketika sudah berada dinegara lain. Lalu kira-kira sesulit apa sih mendaftar visa ketika berada di luar negeri?

Dari pengalaman saya pribadi, saya sempat dihadapkan pada posisi ini hingga dua kali. Pertama saat saya di Turki. Saat itu saya hendak pergi ke Romania untuk pertukaran perlajar (Erasmus+). Nah dalam kasus ini saya harus mendaftarkan visa lagi ke konsulat Romania yang kebetulan memiliki cabang di kota Izmir. Untuk persyaratannya sebenarnya tetap sama. Mereka akan meminta invitation letter, asuransi perjalanan, reservasi tiket pulang pergi, bukti keuangan (berhubung karena status saya sebagai awardee Erasmus+, saya pun mendapat surat keterangan dari kantor Erasmus+ kampus saya, jadi saya tidak perlu pusing menyediakan rekening Koran), foto kopi paspor, foto dengan ukuran sesuai permintaan mereka, dan surat izin tinggal (Tr: ikamet – En: Residence Permit).

Untuk kasus yang pertama ini, boleh saya katakan bahwa saya tidak menghadapi masalah sedikitpun. Nah, masalah hadir ketika saya sudah di Romania. Romania yang merupakan bagian dari wilayah Balkan atau Eropa Timur membuat saya berfikir, rugi nggak sih kalau udah dekat banget Eropa tapi gak jalan-jalan? Nah dari pada menyesal dikemudian hari, saya pun akhirnya bertekad untuk jalan-jalan ke Negara Eropa seperti Milan, Paris dan Amsterdam. 

Tapi berhubung karena Romania bukan bagian dari Negara Schengen1, saya terpaksa harus mendaftar visa lagi. Awalnya saya mencoba untuk mendaftarkan visa Schengen melalui kedutaan Italia, namun karena ditolak saya akhirnya beralih ke kedutaan Belanda. Di tolak masih saat pengecekan dokumen, jadi masih aman, belum membayar biaya pendaftaran sama sekali. Alasan penolakan karena masa berlaku residence permit Romania saya yang sangat mepet. Saya mendaftar di bulan Desember, sedangkat RP saya aktif sampai bulan Februari. Padahal waktu itu saya sudah menyiapkan semua dokumen. Sekarang kalau saya mendaftar melalui kedutaan besar lain artinya saya harus menyediakan dokumen yang berbeda. Didorong oleh perasaan dipermalukan saya pun akhirnya bertekad ingin membuktikan bahwa dengan paspor Indonesia saya masih bisa mengelilingi dunia. Jadilah saya beralih kekedutaan Belanda. Kebetulan waktu itu ada jadwal interview yang tersedia untuk keesokan harinya. 

Nah, untuk mendaftar visa dikedutaan Belanda sebenarnya dokumen yang diperlukan hampir sama seperti dokumen yang diminta untuk mendapatkan visa Romania. Hanya saja, diperlukan itinerary dan reservasi penginapan. Waktu itu saya sudah melakukan beberapa reservasi hostel untuk Roma, namun karena penolakan itu saya akhirnya merubah ulang rute perjalanan saya. Konsekwensi lain yang harus saya hadapai adalah saya harus membuat reservasi baru. Dan ternyata reservasi penginapan dan reservasi transportasi diminta yang lengkap. Jadi jangan harap cuma menyediakan reservasi hotel untuk Negara tempat kita mendaftarkan visa saja. Kita harus menyediakan reservasi penginapan untuk setiap kota yang kita kunjungi. Itu lah mengapa perlu membuat itinerary. Untuk melihat contoh itinerary silahkan klik disini.

Sebagai rangkuman, yang diperlukan saat mendaftar visa di luar negeri adalah:

1.        Kamu harus memiliki residence permit dari Negara tersebut. Semakin lama masa aktif residence permit yang kamu punya semakin baik.

2.      Buat itinerary yang rapih dan meyakinkan

3.       Pastikan kamu mempunyai kartu kredit, karena kebanyakan reservasi hotel meminta pembayaran 15%. Jadi tanpa kartu kredit kamu tidak akan bisa membuat reservasi hostel. Namun begitu, ada kemungkinan hostel yang tidak meminta down payment. Silakan coba mencari.

Kartu kredit juga diperlukan untuk membeli tiket pesawat. Ini bisa berguna untuk mendapatkan tiket murah. Sekarang ini banyak sekali penawararan tiket pesawat maupun bus murah di internet.

4.      Memiliki visa dari Negara lain sangat membantu

5.      Usahakan punya rekening bank di Negara tersebut karena rekening koran hukumnya wajib.

6.      Pastikan tabungan anda memenuhi syarat yang ditentukan. Untuk bertraveling ke Eropa, bukti keuangan yang diminta adalah 50 Euro sehari. Jadi kalau anda hendak berkunjung ke Eropa selama 2 minggu, hitung saja sehari 50 Euro di kali 14 hari. Kalau anda beruntung, anda akan diberi waktu berkunjung lebih dari yang minta. Saya, misalkan, diberi waktu 1 bulan. 
Sekian semoga bermanfaat! Selamat bertraveling!

1Negara EU yang memiliki kesepakatan untuk berada dalam satu border. Dengan visa Schengen kita bisa mengelilingi negara dalam list tersebut.


Foto Keberangkatan ke Turki di Tahun 2012
Kudengar kabar dari teman-teman seperantauan, kata mereka sedang ada promo besar-besaran dari maskapai Qatar. Aku pun penasaran dan langsung menuju website resmi

Qatarairways.com. Benar saja, promo yang disebut-sebut memang ada. Sejauh pengetahuanku harga yang ditampilkan memang jauh berbeda dari tahun sebelumnya. Atau mungkin itu hanya persaaanku saja. Aku tidak pernah pulang, oleh karenanya pendapatku mungkin tidak seakurat yang aku claim.
Dadaku semakin tidak karuan. Aku sedang kesal kepada ayah yang tidak mengambil serius tentang permasalahan pulangku ini. Aku jadi berfikir ulang, mengabarkan ayah tentang harga tiket yang murah ini atau diam saja menunggu ayah yang memberi kabar terlebih dahulu.

Aku mencoba berekting dingin. Tidak menelpon beberapa hari. Tapi aku dapati diri ini gemas membayangkan tiket yang sejatinya bisa membantu kepulanganku malah hangus karena aku menyia-nyiakannya. Aku kempali kepada pokok argumentasiku, "kalau ada tawaran yang murah kenapa kita harus menunggu sampai harganya kembali ke harga awal?". Kata-kata itu mendominasi isi kepalaku. Aku tidak bisa berdiam diri lagi. Ku ambil tablet, mengecek sisa pulsa skype yang ternyata sisa sedikit. Tidak lebih dari satu euro. Aku mencoba mengatur strategi, bagaikan seorang pelamar pekerjaaan yang dituntut membuat calon bos-nya tergakum-kagum dalam waktu interview yang terbatas, aku pun dengan seksama menggunakan sisa pulsa 1€ ku untuk meyakinkan Bapak. Dan aku menambah satu catatatan pada diriku sendiri JANGAN SAMPAI TERBAWA EMOSI. TETAP TENANG

"Pak, Assalamualaikum"

"Ada apa Hari"

Seperti biasa Bapak selalu memberi jawaban yang membuatku merasa bahwa setiap kali aku menelpon hanya karena aku menginginkan sesuatu darinya. Iya, kali ini aku benar-benar menginginkan sesuatu.

"Sekarang ini lagi ada tiket promo pak dari Maskapi Qatar. Kalau bapak benar-benar ingin aku pulang, ini adalah saatnya pak.

"Oya pak, saya cuma ingin bilang bahwa saya tidak masalah sekalipun tidak jadi pulang tahun ini. Tapi saya cuma ingin keputusan. Kalau jadi pulang, kita beli tiketnya sekarang juga. Selagi ada promo. Kalau pun tidak kita putuskan sekarang"

"Jadi.. Jadi... Tapi kita tidak bisa beli tiketnya sekarang. Tenang lah, nanti kalau sudah ada uangnya langsung saya kirim."

"Tapi nanti masa promonya habis pak? Harganya bisa lebih mahal"

"Tidak apa-apa walaupun mahal, yang penting kamu pulang tahun ini?"

Aku mendapati diriku mengatakan, "kalau yang promo begini saja kita tidak sanggup beli, bagaimana mungkin kita bisa beli tiket yang harga normal Pak?

"Menurut saya, keputusannya adalah kita beli tiket promo ini atau tidak pulang sama sekali. Saya tidak mau merasa bersalah karena mengabiskan terlalu banyak uang demi kepulangan ini."
Bapak mencoba menenangkanku tapi tidak juga sampai pada titik tertentu dimana pulang atau tidak diputuskan dengan tegas. Kami pun menututup telpon tanpa ada keputusan.

Hari-hari berlalu lagi tanpa ada keputusan. Sebentar lagi ujian akhir semester dimulai. Suasana hati saya jadi tidak bersemangat untuk belajar. Dalam kekesalan yang bergemuruh aku mencoba melewati hari-hari.

Kalian boleh saja menghakimiku, tapi kalian tidak tahu betapa menderitanya hidup tidak bisa bertemu dengan keluarga sebegitu lamanya. Empat tahun bukanlah waktu yang sedikit. Banyak hal yang telah berubah. Banyak berita kematian yang terdengar dan banyak pula berita kelahiran yang mewarnai. Yang paling menyedihkan dari semua peristiwa itu, kau hanyalah pendengar berita dari kejauhan. Kau tidak termasuk dalam bingkai kebahagiaan ataupun duka. Kau hanyalah orang yang terdampar.

Seberapa besar pun ego ku untuk tidak menelpon Bapak lagi, aku tetap mengingkarinya. Dalam hatiku terbesit keinginan besar untuk bisa pulang tahun ini, untul bisa bertemu ibu dan bapak, keponakan yang entah bagaimana sudah berjumlah empat saja. Bahkan keponakan pertama pun baru beberapa kali ku lihat wajahnya, dan ternyata jumlah berekan telah bertambah empat kali lipat.

Saat itu aku sedang berada di İzmir menghadiri konferensi Sastra. Dan Bapak akhirnya menelpon mengabarkan bahwa beliau telah mengirim jumlah uang yang saya sebutkan. Tidak seluruhnya tapi 80% dari jumlah yang saya sebutkan. Saya rasa itu sudah cukup. Toh saya juga punya beberapa limit dalam kartu kredit yang bisa menanggung kekurangan harga tiket.
Hari itu juga aku membeli tiket tanpa bertanya kanan-kiri. Hal yang dikemudian hari aku sesali. Seharusnya aku bisa berada disatu pesawat dengan beberapa teman, namun karena antusiasmeku yang meledak-ledak, aku tidak sanggup lagi untuk menunggu barang sedetik untuk membeli tiket kepulangan.
Ku tulis di google "Qatar Promo to Malaysia," dan satu laman terbuka. Ku tulis tujuan keberangkatan dan kepulanganku. Kutemukan harga tiket yang sama masih bertengger disana. Dengan cepat aku mengecek tanggal dan hari kepulangan yang pas.

Menurut kalender akademik (tahun lalu) ujian akhir semester dimulai akhir Mei. Dan seperti biasa ujian berlangsung dua minggu, di tambah dua minggu lagi untuk remedial. Sebelumnya belum pernah ada kasus remedial tapi mengingat perubahan suasana hati yang tidak menentu segalanya bisa saja terjadi.
Dan begitulah rencana kepulanganku terususn. Aku akan pulang ke Indonesia setelah minggu remedial. Tidak perduli apakah aku masuk remedial atau tidak, aku hanya ingin berlaku aman. Ketika aku pulang, puasa hanya tinggal beberapa hari saja. Tidak mengapa, beberapa hari sangat cukup untuk membayar empat tahun berpuasa tidak bersama keluarga. Aku hanya ingin menyicipi pecel buatan ibu.

Dalam detak jantungku yang tidak karuan, ku tulis satu pesatu nomer kartu kredit. Selanjutnya aku mengisi kolom nama, tanggal penutupan kartu kredit, dan kode. Sebelum mengklik lanjutkan, aku kembali berfikir tidak karuan. Ada perasaan bahwa suatu kesalahan telah aku lakukan saat pemilihan tanggal, nama, no paspor dan lain-lain. Aku pun mengulang lagi seluruh proses dari awal. Tidak hanya sekali. Ku lakukan kegiatan aneh ini sampai berkali-kali, sampai hatiku telah yakin bahwa aku telah melakukan segalanya dengan benar.

Di kali yang kesepuluh, aku pun akhirnya menekan pilihan "lanjutkan" dan ponselku pun langsung berdering. Sebuah sms masuk dari Iş bankası yang berisi kode keamanan. Ku tulis satu persatu sambil menarik nafas pelan-pelan. Dan transaksi pun sukses. Aku akan pulang beberapa hari sebelum lebaran idul fitri, momen yang sangat tepat karena dalam waktu bersamaan aku bisa bertemu dnegan sanak saudaraku. Dan aku akan kembali ke Turki beberapa minggu setelah Idul Adha, suatu keputusan yang sangat aku senangi. Sampai jumpa Indonesia, sampai jumpa Kota Dingin Bener Meriah, sampai jumpa Ibu, sampai jumpa keluarga...


Courtesy of http://gutenberg.net.au
Blake's "The Little Black Boy" is a poem about a little boy who has just received an important lesson about life from his lovely mother. His mother tells the little boy that world is just a temporary thing deliberately created by God to test human's faith "And we are put on earth a little space / that we may learn to bear the beam of love". Once human beings pass the test "For when our souls have learnt the heat to bear," continues the mother, God will gather them in His "… golden tent like lambs rejoice." Golden tent here is probably metaphor for heaven. To be a good child the little black boy was, he then spread this seemingly wise message to his surrounding namely to the little English white boy.

This is probably the first impression one might get when he or she read Blake's "The Little Black Boy." But since I intend to analyze this poem through poststructuralist lens or the applied form of poststructuralism: deconstruction, it has to be different. What poststructuralist critics do to the texts is: 1. they list the binary opposition and contradict its conventional purpose; 2. they try to look deeper at the metaphor used in poem and reveal its intended and unintended meaning; 3. they try to find ambiguous sentence or phrase or even word. Taking these three steps as guide I will try to do the deconstructive reading of "The Little Black Boy."

As I said in the first paragraph that at first glance this poem might sound like a religious poem, but when we look deeper we will find another shocking discovery to the extent that this poem might also sound like it produces a racist connotation. It can be understood through the binaries presented in the poem such as white/black, light/shade, English (Europe)/ the southern wild (Africa). Throughout the poem we can get the implication that white/light/English are being privileged "White as angel is the English Child" over black/shade/Africa "But I am black as if the bereav'd of light". Contrary to its predecessors who believe that text should be analyzed in isolation, poststructuralist believe that reality itself is text. Thus we can connect the mentality being implied in this poem as the reason used by European colonizers to colonize their countries like Africa.


"And these black bodies and this sun-burnt face/
Is but a cloud, and like a shady grove

The cloud will vanish we shall hear his voice"

The attempt to make white/light/English as the privilege ones continue throughout the poem such as in the lines above when it seems to say that when people die and go to heaven, they all are going to have white skin ". Thus it implies that white is the color of heaven. Cloud is used to create an image of how having black skin and sun-burnt face are just temporary thing, just like the cloud that comes and disappears anytime.

As for the mother who at first glance seems to look like a good, loving and caring mother, when looked through poststructuralist lens can be the opposite. Earlier I try to prove that this poem is so far away from delivering religious message. Therefore by being consistent to that note, I would also like it to be applied to mother. Consequently, instead of giving religious message, the mother does the opposite. She, through her seemingly religious lesson, makes the son adore the color of white instead of the color that he is more related to. In addition, this message also has made the son unappreciative toward the physical appearance God has given to him. Hence it answers the reason why the little black boy shares the massage to the English boy, because he is desperate to be liked. So the little boy is under the impression that if he can convince the white boy that in the heaven they are all gonna be the same "And be like him" he will treat him better "..and he will the love me."

But then again we have to also consider the reason why the mother have that thoughts? Perhaps, since religion is sometime brought to one country by the colonizers, perhaps that message the mother have is taught to her by the priest who has been professionally trained by the colonizers to brainwash them. The message is perhaps part of propaganda deliberately shared to the people so that the colonized society would think of its colonizers in a positive way.

In conclusion, Blake's "The Little Black Boy," is a very intense poem that is open to many interpretation depending on which lens one prefers to use while looking at it. As for me, I think poststructuralism or Derrida's deconstruction is the perfect lens to put on my eyes in order to see the very things this poem offers. It can be looked up by examining the binaries, the metaphors, and the ambiguous words.

courtesy of https://akubunda.wordpress.com/2012/01/24/tentang-gugur/
Satu hal yang Hari sangat benci - Hari benci ketika digantung dan dihianati. Bagi Hari janji tetaplah janji. Dan itu harus ditepati. Namun ketika ada satu hal lain yang membuat janji itu terancam batal, Hari tetap saja tidak bisa di ajak kompromi. Dia akan secara otomatis kesal dan mendumel.

Saat itu sudah memasuki bulan Maret. Sebuah hukum perjalanan bahwa untuk mendapatkan tiket pesawat yang murah meriah, tiket harus dibeli beberapa bulan lebih awal. Hari, yang sejak awal tahun 2016 telah membayangkan hari kepulangannya, sudah sangat siap menghadapi hari-hari pembelian tiket. "Ini saatnya nih mengabari Bapak," ujar Hari. Dan hari pun menelpon Bapak mengabari hukup perjalanan yang ia pelajari dari pengalamannya melakukan perjalanan selama empat tahun terakhir ini.

Namun nihil, bapak memberikan nada-nada yang tidak meyakinkan. Apakah ini pertanda bahwa kepulangan kali ini juga akan gagal? Hari langsung berfikir negatif. Dan dia pun mengancam Bapak "kalau begitu putuskan saja pak "pulang atau tidak"? Saya tidak masalah kalau tidak pulang sama sekali. Tapi satu hal yang pasti, kalau saya tidak pulang tahun ini, saya tidak akan pulang tahun depan!  Dan satu hal lagi, saya mau keputusannya secepatnya, agar saya bisa mencari kegiatan lain untuk mengisi liburan musim panas yang akan berlangsung selama empat bulan itu."

Bapak tentu berusaha menenangkan Hari dengan mengatakan bahwa "Ia tahun ini kamu sudah pasti pulang, tapi untuk masalah biaya transportasinya kami belum bisa kirim sekarang." Lalu Hari kembali menjelaskan tentang hukum perjalanan. Dan jawaban bapak atas penjelasan itu sangat membuat Hari kesal. "Tidak apa. Sekalipun mahal yang penting kamu pulang." Jawaban itu sangat mengecewakan bagi Hari, karena dari awal permasalahan yang menyebabkan  Hari tidak bisa pulang selama empat tahun adalah masalah keuangan. Dan tiba-tiba sekarang Bapak berbicara begitu. Ini sungguh tidak logis menurut Hari. Hari menawarkan tiket pesawat promo yang harganya jauh dibawah harga normal dan Bapak malah menawarkan membeli harga biasa saja. Hari kembali berargumen "kalau kita bisa dapat harga murah, kenapa harus mengeluarkan uang banyak pak?," dengan pasrah.

Hari sangat cepat naik pitam. Kejadian seperti ini dengan cepat bisa membuat dia meluap-luap. Luapan terbesar yang bisa keluar dari kejadian seperti ini adalah ucapan seperti "ya sudah pak. Sekarang kita buat saja keputusan antara pulang atau tidak? Bagi saya cara berbicara bapak telah menunjukkan tanda-tanda bahwa kemungkinan untuk pulang tahun ini sangatlah minim. Dari pada saya berharap banyak lalu akhirnya gagal, menurut saya lebih baik kita putuskan saja." Hari menutup telepon dan berhenti menghubungi bapak selama berminggu-minggu. Bagi Hari aksi yang dia ambil sangatlah beralasan. Walaupun sebenarnya hal yang dia lakukan tidak sepenuhnya adil. Tapi Hari merasa bahwa jauh selama empat tahun dari kedua orangtuanya telah merusak psikologinya "yang saya harapkan hanyalah bertemu dengan mereka. Apakah itu salah?"

Ada alasan mengapa Bapak berlaku demikian. Ternyata ada hal lain yang sedang terjadi didalam keluarga. Kakak ketiga Hari tiba-tiba meminta izin untuk menikah. Bapak tidak melarang keputusan itu sedikitpun. Dan tidak pernah pula Bapak mendikte keputusan hidup anak-anaknya. Mulai dari masalah sekolah bahkan hingga permasalah menikah seperti ini sekalipun. Tetapi dia ingin diberikan waktu. Setidaknya hingga akhir tahun, karena anak kesayangannya akan pulang tahun ini. Ayah juga sudah tidak sabar bertemu dengan anak kesayangannya. Betapa ayah sudah menunggu hari-hari ketika Yusuf akhirnya bertemu dengan Ya'quf setelah terpisahkan sangat lama. Hari sudah menyusun secara rapih cerita apa yang ia akan sampaikan kepada ayah, tentang hari ketika ia ditenggelamkan kedalam sumur. Tentang hari ketika ia mendekam di penjara karena fitnah. Dan hari itu terancam gagal karena Randi. Betapa Hari akhirnya membayangkan bahwa Randi tak ubahnya seperti kakak-kakak lelakinya nabi Yusuf yang telah membuatnya merasakan banyak tantangan dalam hidup.

Randi sudah tidak sabar ingin menikahi wanita pujaannya. Tidak perduli hal lain yang sedang berlangsung dalam keluarga. Tiba-tiba Randi langsung melamar ke keluarga si mempelai wanita tanpa sepengetahuan keluarga. Sehingga pernikahanpun tak terelakkan. Ayah dengan terpaksa masuk kedalam panggung sandiwara yang diciptakan oleh Randi. Dan melupakan keadaan Yusuf yang sedang merindukan kebersamaan bersama keluarganya.

Diminggu-minggu saat Hari menolak menelpon Bapak, ternyata Bapak juga tidak berusaha untuk menelpon Hari. Kemungkinan besar Bapak sedang disibukkan oleh rencana pernikahan Randi. Hari semakin kesal. Karena sebenarnya keputusannya mogok nelpon hanyalah sebuah luapan kekesalan. Dalam lubuk hatinya Hari sangat ingin menelpon dan beharap kondisi sudah membaik, dan bapak sudah mengantongi uang untuk membeli tiket kepulangan Hari.

Dari saudaranya Hari mendapatkan kabar bahwa Randi jadi menikah. Beberapa pihak keluarga pergi menghantarkan Randi sebagai mempelai laki-laki ke rumah mempelai wanita. Dan mereka pun resmi dinikahkan di bulan Maret itu.

Kekesalan Hari bertambah. Pertama karena kepulangannya terancam gagal, dan kedua karena ia merasa keberadaannya terhapus dari keluarga. Kenapa dalam acara sesakral ini Hari tidak mendapatkan kabar sedikitpun. Setidaknya Hari bisa menguncapkan beberapa doa. Doa agar mereka salalu dimabukkan oleh asramara cinta, sama seperti ketika Zulaikha tergoda oleh ketampanan Yusuf.

Hari hanya bisa terdiam. Dan menunggu akhir dari semua drama ini. Dan berharap semoga April, bulan yang sengaja dipilih oleh Allah sebagai penanda musim semi, dapat menyemaikan harapannya untuk pulang ke tanah air dan bertemu dengan keluarga tercinta. Kepulangan ini bagi Hari bukan hanya sekeadar pulang, tapi jauh lebih besar dari itu. Kepulangan ini adalah untuk menyemaikan rasa kekeluargaan yang sepertinya pupus oleh empat tahun yang telah berlalu
Keluargaku di kota Adana dalam perayaan hari batik

"Empat tahun berlalu bukan tanpa ada wacana kepulangan sama sekali. Malah sebaliknya, setiap awal tahun aku dan bapak selalu berpikiran positif bahwa kami akan melewati libur musim panas bersama. Namun, sepertinya Allah selalu punya rencana lain.

Di tahun pertama, misalnya, aku tidak bisa pulang karena aku merasa bahwa aku belum sattle secara penuh baik dari segi universitas maupun ketika ditinjau dari sisi "kerasan atau tidak kerasan." Karenanya, pulang sepertinya bukanlah jawaban yang baik untuk situasiku saat itu. Seandainya saat itu aku nekad pulang, rasanya liburanku akan penuh dengan ketidaknyamanan. Aku akan menghabiskan waktuku memikirkan apa yang akan terjadi saat aku kembali ke Turki nanti. Untuk itu aku rasa keputusanku untuk tidak pulang kala itu adalah keputusan yang bijak. Bijak karena aku menemukan sisi positif ketidakpulanganku, aku menemukan keluarga baru. Adalah teman-teman Indonesia di kota Adana yang membuat ketidakpulangan terasa biasa saja.

Keluargaku di kota Izmir

Tahun kedua memberikan cerita yang berbeda kenapa aku akhirnya tidak pulang. Sepertinya waktu itu orangtuaku sedang dalam kondisi perekonomian yang tidak stabil. Dalam tingkatan itu aku merasa bahwa aku tidak punya hak lagi untuk memaksa. Tak perduli bagaimana pun kerasnya keinginanku untuk pulanh, ketika memang hal yang paling terpenting dari keselurhan diskusi ini (uang) tidak ada, semuanya berubah menjadi sia-sia. Aku pun akhinya memutuskan untuk menikawati waktuku dengan keluarga keduaku - teman-teman Indonesia di Izmir. Saat itu aku sudah tidak lagi berdomisili di Adana. Aku memutuskan untuk mendaftar universitas baru dengan jurusan baru, yaitu universitas dan jurusanku saat ini, CBÜ - Bahasa dan Sastra Inggris. Kami melewati liburan musim panas bersama, tinggal bersama, masak bersama dan juga jalan-jalan. Ketika melihat kebelakang saat ini, aku merasa bahwa hari-hari itu merupakan salah satu hari yang paling indah didalam hidupku.

Tahun ketiga ketika Bapak sudah menyanggupi kepulanganku secara materi, aku yang malah tidak siap pulang. Saat itu aku sedang dihadapkan pada situasi dilematis. Disatu sisi kalau aku pulang urusan visa, dokumen erasmus dan lain-lain akan terlantar. Namun disisi lain juga, hari kepulangan yang aku tunggu kini hadir. Aku tidak tahu apakah kesempatan ini akan hadir lagi. Setelah berdiakusi dengan bapak akhirnya kami sepakat bahwa fokus ke erasmus saja dulu. Tahun berikutnya baru pulang. Setelah membuat bapak berjanji, akhirnya aku pun tekad bahwa tidak ada pulang di musim panas 2015.
Baru lah sekarang, di summer 2016, keputusan pulang itu final. Tak ada lagi kendala. Pun ada kendala, kendala itu berhasil ditepis jauh-jauh. Tak akan ku biarkan seekor nyamuk pun menghalangi kepulanganku kali ini. Aku yakin Allah sangat ikut andil dalam suksesnya rencana kepulangan ini. Tanpanya semuanya sangatlah mustahil. Terimakasih Allah"

Foto yang saya abadikan saat pertama kali mendarat di bandara Ataturk Istanbul
"Akhirnya" adalah sebuah ungkapan yang kerap digunakan sebagai penanda perasaan lega. "Akhirnya" terucap karena hal yang di tunggu-tunggu akhirnya muncul ke permukaan. "Akhirnya" hadir membawa berika gembira.

April hadir membawa berita gembira. Layaknya hari ketika Chaucer dan teman seperjalanannya bersenang-senang menyambut April untuk berkunjung ke Katedral Canterbury, Hari pun merasarakan perasaan yang sama. Ia bahagia dan berucap "akhirnya". "Akhirnya" bagi Hari adalah sebuah pencapayan. Bagaimana tidak, hampir empat tahun Hari menunggu saat-saat seperti ini, dan baru kali ini terealisasi.

Empat tahun yang lalu Hari memutuskan untuk menjadi perantau. Bagian yang ia sukai dari merantau adalah hari ketika ia kembali ke kampung halamannya. Ia merasa bahwa ada sensasi magis mucul saat hari kepulangan itu. Hari mengatakan bahwa (saya petik) ada sebuah kebahagiaan batin yang tak terjelaskan menyerbak saat hari-hari seperti itu.

Dan Hari harus kecewa menyadari bahwa bagian terfavoritnya dari kegiatan merantau ternyata tidak terlaksanakan selama empat tahun. Betapa setiap menit ia menyesali keputusannya untuk merantau. Betapa ia berharap agar ia berada di rumah saja, bersama ibu, ayah dan kakak-kakaknya. Pernah ada seorang nenek, tapi kegiatan merantau telah menjauhkan Hari dengan nenek terkasihnya. Dan ia pun menyesal untuk hal itu. Hari menyesal.

"Akhirnya," ucap Hari dengan lega "aku bisa pulang."

Satu permasalahan kembali mendominasi pikiran Hari. Ia bertanya-tanya apakah ia masih ingat perasaan magis yang ia sempat agung-agungkan. Seperti apa perasaan itu? Empat tahun telah merenggut ingatan Hari akan perasaan magis itu.

Kini Hari bersedih. Karena ia tidak tahu lagi seperti apa perasaan magis itu. Tapi Hari juga lega karena penungguannya akhirnya usai. Setelah berkontemplasi panjang, akhirnya Hari memutuskan bahwa sedih bukanlah jawaban. Ia memutuskan bahwa bahagia adalah hal yang layak hadir didalam situasi ini.
"Ia, aku harus berbahagia. Tak penting tahu atau tidak seperti apa perasaan itu lagi. Yang jelas AKU PULANG"


********

Qatar dari udara. Foto yang saya abadikan di tahun 2012, kali pertama saya berangkat menuju Turki

Dalam rangka kepulanganku ke Indonesia setelah empat tahun merantau di tanah Ottoman, Turki, aku menutuskan untuk membuat sebuah tulisan bersambung. Agar semua perasaan, agar semua yang saya lewati selama momen bahagia ini bisa terekam secara utuh dalam bentuk tulisan. Tentu dalam penulisannya saya lebih memilih menggunakan sistem penulisan yang berbeda. Daripada menulis seadanya, aku memutuskan untuk membuatnya dalam bentuk narasi. Dan juga menambah dan mengurangi detail dari setiap momen demi mempuitisasi setiap keadaan.

Untuk mengikuti kelanjutan tulisan berseri ini, silahkan klik label yang ada dibagian bawah postingan ini (Tulisan Berseri, Catatan Kepulangan)
courtesy of http://www.vocfm.co.za/
Once is a year muslims around the world are celebrating Ramadan, a month where the muslim people fast from down to sunset. That would be the very simplest definition of ramadhan. If you ask the muslims about Ramadan, they will immidiately tell you that Ramadan is so much more than just not eating and not drinking from down to sunset. It's a month of the purification of soul. Your soul will be purified by avoiding any sorts of temptation: temptation to eat, temptation to drink, sexual temptation, tempting to talk ill of others etc. This is the real meaning of Ramadan. It purifies you from your past wrong-doings.

In addition, during Ramadan the muslim also goes to the mosque at night after isya prayer, to do a special prayer called tarawih. This prayer is only conducted during the holy month of Ramadan. The rakaat differs from one place to another, some do it 23 rakaat including the witir, others do it 11 rakaat. Despite these differences they are doing it for the same purpose, they want to reconncet with their khalik (the creator).

By the end of this festivity, the people are required to pay their zakat al-fitr or the tax of the soul. The money or food (normally it is paid in a form of rice in Indonesia, but then again it is strongly advised to pay it with the primary food in the country) will then be shared to the people who are on the list of eligible people to receive this. They are the poor, the needy, the collectors of zakat, the reconciliation of heart, for freeing captives, the debtors, the fighter who fights in the way of God, and the traveler.

If anything this whole ritual tells us, it tells us how beautiful this religion is. It not only concerns to the well being of its people, but it also invites us to question what this whole thing is designed for.

Islamic teaching always advocates two things: "hablu minaAllah wa hablu minannas" to have a good relationship with the creator, and also to have a good relationship among people. The realization of this message can be clearly seen in the ritual of Ramadan, where the people are made to purify his/her self, his/her soul, to reconnect with Allah, and then it doesn't forget to help in reconnecting people. These are the message of ramadan, among other thing.

A research proves that fasting during Ramadan does not only succeed in fulfilling the message itself, but it also shows a positive effect health-wise. People who fast are likely to have improvements in blood pressure, cholesterol, insuline sensitivity and etc.

In terms of socio-economy, we can see how Islam also takes care of its people. It teaches the people to care about the other people around them by sharing a small amount of their wealth to the needy people. Yet, it is not a free thing. It is repaid with a purified version of your self and your soul. Thus, Islam shows it is not only a religion, it is a way of life. Islam teaches so much positivity, as oppose to the negative things that media often associate this beautiful thing with.

Happy Ramadan. May Allah accept all our good deeds and our duas. Ameen..



Di abad ke 21 ini, turisme adalah bagian dari era yang disebut postmodernisme. Bukan berarti bahwa di abad-abad sebelumnya turisme belum pernah dilakukan. Pernah, tapi pelakunya hanya mereka-mereka yang berkantong tebal.
Adalah OKB (Orang Kaya Baru) Amerika yang pertama kali mempopulerkan kegiatan berturisme ini. Di abad ke 20-an ekonomi Amerika tumbuh pesat. Banyak yang naik strata, dari awalnya hanya kalangan biasa, menjadi kalangan menengah ke atas. Dari sana lah ungkapan "American Dream" awalnya berasal. Hal ini bisa kita lihat di karya sastra dari abad ini misalkan "The Great Gatsby, " yang juga menggambarkan betapa masyarakat Amerika mengagung-agungkan pesan "American Dream" itu. Amerika Dream adalah sebuah idealisme atau faham bahwa setiap individu memiliki kemampuan untuk sukses, asalkan mereka mau bekerja keras. Fitzerald, penulis "The Great Gatsby," bukan hanya menggambarkan antusiasme faham itu, tapi juga menggambarkan betapa dangkalnya faham itu. Karena faham ini juga berpotensi untuk membutakan manusia akan arti kebahagian. Faham ini seolah mengatakan bahwa kehagiaan adalah sinonim dengan memiliki harta banyak. Tapi hal itu tidak terjadi dengan kasus Gatz, dia kaya tetapi dia tidak bahagia. Dia kaya dengan menghalalkan segala cara.

Sebenarnya cerita "The Great Gatsby" tidak ada hubungannya dengan turisme, tapi cukup bagus untuk menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat Amerika di tahun 1920an. Kita bisa melihat bahwa banyak kelas-kelas baru bermunculan, seperti halnya Gatz. Nah, kalau Gatz sepertinya hanya menggunakan hartanya untuk hidup bermewah-mewahan, masyarakat Amerika lainnya menggunakan hartanya untuk bertraveling ke Eropa (Old World). Mungkin, karena sastra yang dapat menggambarkan situasi ini adalah novel-novelnya Henry James seperti "Daisy Miller," dan lain-lain.

Untuk Orang Kaya Baru (OKB) Amerika saat itu, mengunjungi Eropa adalah sebuah statement akan kelas sosial mereka. Berkunjung ke Eropa bukan semata-mata bagian dari kegiatan intelektualitas. Padahal kegiatan mereka selama di Eropa adalah mengunjungi musium, katedral dan kastil-kastil. Kedangkalan pemikiran ini lah yang kerap kali di ungkapan James di dalam novel-novel. Sehingga sempat James dianggap penghianat negara, dan novel-novelnya pun tidak lolos terbit di Amerika, melainkan di Inggris. Ironis adalah ketika James terlihat seperti mengeritik kedangkalan masyarakat Amerika yang mengunjungi Eropa hanya untuk status sosial semata, dia malah akhirnya menanggalkan kewarganegaraan Amerikanya dan menjadi warganegara Inggris.

Nah, sejak abad ke 20 kegiatan bertraveling ini sudah kerap dilakukan, tapi seperti saya katakan tapi, pelakukanya hanyalah OKB Amerika.

Lalu yang berbeda dengan abad ke 21 apa?

Nah, perbedaannya sepertinya terletak di pelaku travelingnya. Saat ini kita bisa melihat bahwa yang bertraveling bukan hanya mereka yang kaya tapi juga dilakukan oleh mereka yang hampir tidak memiliki uang. Dan namanya pun seperti dirubah, alih-alih menggunakan kata "traveling" yang sepertinya terdengar elitist, mereka memilih menggunakan kata "backpacking" sebagai kata yang mewakili kegiatan yang mereka lakukan.

Hal yang menarik tentang traveling di abad ke 21 ini adalah, ini bukan hanya sebuah kegiatan selingan, tapi bertransformasi menjadi sebuah profesi. Banyak kita lihat bermunculan yang namanya travel blogger atau travel writer. Salah satu yang terkenal di Indonesia misalkan the naked traveler. Nah, dengan begitu kita bisa melihat bahwa traveling bukan hanya sebuah kegiatan kosong, karena buktinya ada juga kok yang menghasilkan uang dengan bertraveling. Apalagi dengan majunya ICT (Information, Communication and Technology), yang secara total telah merubah gaya hidup dan persepsi masyarkat dunia. Ada yang beragumentasi bahwa orientasi masyarakat kita telah berubah dari yang awalanya status sosial di tentukan oleh keikutsertaan seseorang pada proses produksi, menjadi keikutsertaan dalam mengkonsumsi. Jadi kalau di abad ke 18 dan 19, atau bahkan ke 20, status sosial seseorang ditentukan oleh seberapa banyak ia berinvestasi pada proses produksi, sekarang di abad ke 21 ini yang mendifinisikan status sosial seseorang adalah seberapa banyak ia mengkonsumi, produk apa yang dia gunakan dan sejenisnya. Menurut saya ini juga berpengaruh pada kegiatan traveling, karena traveling identik dengan kegitan mengonsumsi. Mengapa akhirnya orang-orang berlomba-lomba bertraveling, mungkin salah satu alasannya adalah karena foto, pakaian, produk yang mereka dapat dari tempat mereka melancong dapat meningkatkan martabat mereka di kalangan sosialnya.

Tentu itu adalah sebuah analisa yang sangat sempit sekali. Para backpacker, yang kegiatannya sepertinya berbasis pada keputusan filosofis, pasti akan menolak secara keras. Mungkin backpacking adalah sebuah gerakan penolakan atas label buruk yang menimpa kegiatan bertraveling itu sendiri. Jadi dari para backpacker kita bisa melihat sebuah aksi inelektualitas dengan hadirnya buku-buku yang merekam kegitan mereka. Mereka terlihat lebih interaktif dengan masyarakat lokal sehingga kegiatab bertravelingnya masih mengandung makna tersendiri. Benjamin, salah seorang budayawan, menyebut situasi ini aura. Ia, menurut saya juga, ketian backpacking lah yang berusaha untuk memilihara keharian aura didalam kegitatan bertraveling ini. 


Marhaban ya ramadhan, selamat menunaikan ibadah puasa bagi saudara dan saudari muslim ku diseluruh dunia. Semoga amal ibadah kita diterima Allah SWT.

Jadi tahun ini adalah tahun keempat ku berpuasa di Turki. Walaupun begitu, setiap tahun ada saja keunikan yang membuat bulan suci ramadhan ini semakin berkesan dihati. Awal-awalnya memang terasa "asing". "Asing," dalam artian ada perasaan tidak familiar hadir menyelimuti hati. Seperti sedang berada ditempat yang sebenarnya namanya tidak asing bagi telingamu, namun situasi yang ada dilokasi menujukkan hal yang sebilaknya. Tidak memberikan tanda-tanda sama sekali bahwa kamu sudah pernah ada disana.

Empat tahun tinggal di Turki membuatku semakin memaklumi perasaan "asing" ini, dan mencoba untuk merangkulnya dengan cara menikmati setiap keanehan yang ada. Terkadang "keasingan" malah meninggalkan kesan yang tak terlupakan.

Salah satu perasaan asing yang berlanjut menjadi perasaaan kehilangan ini pada dasarnya timbul akibat adanya ekpektasi bahwa suasana ramadhan di Turki akan memiliki kesamaan dengan yang di Indonesia. Satu hal yang sangat mustahil. Setiap negara memiliki budayanya tersendiri, dan seharusnya aku sudah mewanti-wanti diriku akan hal itu.

Di Turki, saya tidak meraskan antusias ramadahan yang seharunya aku miliki. Bahkan kejadian ini sempat membuatku mempertanyakan imanku. "Kenapa aku tidak seantusias saat aku masih kecil? Apakah imanku sudah luntur?" kataku pada diri sendiri.

Bukan berarti bahwa masyarakat Turki tidak antusias dengan hadirnya ramadhan. Tentu mereka antusias. Tapi bedanya cara penyambutan ramadhan baik dari sisi media pertelivisian Turki, maupun dari festivitas mereka saat hari-hari penyambutan, membuat kami, saya pada khususnya, tidak mendapat radar antusiasme itu. Akhirnya, terjadilah koneksi sepihak. Mereka antusias (dengan caranya sendiri), kami merasa kehilangan atau keasingan.

Di Tanah Air, sebulan sebelum bulan ramadhan dimulai, kita sudah mulai merasakan euphoria-nya. Salah satu faktor yang pendukung adanya euphoria ini adalah banyaknya produk-produk baik makanan, minuman, pakaian yang berseliweuran di televisi - dengan mengangkat tema ramadhan. Selain itu ada juga program-program khusus yang disediakan untuk menyambut bulan suci ramadhan baik itu program keagamaan, maupun program yang tidak ada hubungannya dengan ramadhan sama sekali seperti program lawak dsb.

Itu dari segi media, dari segi kegiatan yang tersedia dibulan suci ramadhan, tentu juga menambah perasaan kefamiliaran itu. Misalkan adanya pasar khusus menjual penganan khas ramadhan, tarawih, tadarus dll - adalah hal yang sangat menambah faktor kehilangan dihati para perantau seperti kami. Meski disini juga ada tarawih, tapi ada saja perasaan yang berbeda. Intinya ide "rumah" juga sangat masuk akal jika dihubungkan dengan masalah ini.

Ramadhan kali ini juga tetap tidak menghadirkan euphoria yang meluap-luap didada. Tapi berhubung karena ada antusiasme lain yang mendominasi, sebut saja rencana kepulangan yang akhirnya hadir setelah empat tahun berlalu, akhirnya walaupun ramadhan akan dimulai esok hari saya tetap merasa tenang, atau bahkan tidak berekpresi sama sekali. Tidak lupa juga bahwa kami masih berada di suasana ujian akhir, jadi mungkin indera pemikiran jadi memiliki konflik perasaan, tidak tau harus antusias untuk mana dulu, ujian kah, kepulangan kah, atau ramadhan?

Tapi setelah ramadhan mulai baru lah kejadian-kejadian unik mulai mewarnai. Misalkan, hari pertama sahur aku tidak kepikiran sama sekali bahwa semua orang akan menyambut puasa pertama ini dengan antusiasme masif. Berhubung aku tinggal diasrama pemerintah Turki, aku tidak perlu menyediakan apa-apa untuk sahur, atau setidaknya itu lah yang ada dalam pikiranku. Ternyata, aku salah besar! Semua orang bangun untuk sahur. Sampai-sampai antri makanan mengular hingga lantai 2. Dan jumlah pengantri mungkin lebih dari 300 orang. Saat itu jam 2.40. Aku berusaha mengantri, berharap antrian akan cepat menyusut. Ternyata setelah menunggu sampai jam 3.00, antrian baru menyusut sedikit. Kepalaku langsung berputar. "Oh aku punya simpanan 3 paket Indomie" Aku langsung lari ke kamar dan menyeduh 2 paket Indomie di ruang belajar. Ada dua orang yang sedang belajar disana. Untunglah mereka memaklumi.

Begitulah sahur hari pertamaku. Sahur berbekalkan dua paket Indomie goreng. Dan hariku berlangsung dengan tragis. Aku terkulai, sama seperti terkulainya mie instan itu ketika di masukkan kedalam air mendidih…

Ini ceritaku, apa ceritamu



This blog compiles a life of a young Indonesian who once only dared to dream what amazing it would be like to live abroad, to be independent. But then life brings that dream into reality.

The word "abroad" does not only mean living outside of a country. For Adhari it's so much more than that. It means living away from one's parents. Yes, Adhari has been living independently since he was 12 yo. Now he is in his 20s.

It happens very systematically. Adhari started his journey by living a few kilo meters away from his parents house. But then Adhari is addicted to that feeling, the feeling of being independent. He then continued his journey to the level of province, which mean he doesn't only live away from his parent but he also needs to adapt with the new culture.

After that he planned to upgrade the level of his independence to the national level. But then God provided a better plan for him. He gets to experience the real living abroad experience. Up to now Adhari has been living in two countries apart from his own, Turkey and Romania. Adhari has traveled to several countries such as Italy (Milan), France (Lyon, Paris), the Netherlands (Amsterdam, Einhoven), Malaysia (Kuala Lumpur), and Qatar (Doha). Hence, it is not a surprise that Adhari uses this blog to record his experiences along the way.

Apart from that, this blog also displays Adhari's own interest in literary world, film, and culture in general. Hope these all inspire us all in one way or another.

Don't hesitate to comment. I will reply them as soon as I read them.

Adhari K